VISI | Membangun insan paripurna yang berakhlakul karimah, berwawasan ilmiyah dan memiliki daya saing dalam menghadapi era globalisasi yang dilandasi oleh ilmu amaliyah, amal ilmiyah dan motto hidup sekali hiduplah yang berarti | MISI | 1.Menanamkan akidah yang kuat. 2.Memiliki jiwa kesederhanaan dan kemandirian. 3.Memperkuat ukhuwah islamiyah, wathoniah dan basyariah. 4.Berpikir luas, kreatif dan inovatif. 5.Menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran | MOTTO | 1.Hidup sekali hiduplah yang berarti 2.Condong berdiri diatas dan untuk semua golongan 3.Ilmu amaliyah dan amal ilmiyah | PANCA JANGKA | 1.Pendidikan dan Pengajaran 2.Kaderisasi 3.Pergedungan 4.Kesejahteraan Keluarga Pondok | PANCA JIWA | 1.Jiwa keikhlasan 2.Jiwa kesederhanaan 3.Jiwa berdikari 4.Jiwa ukhuwah diniyyah 5.Jiwa bebas | PILAR PERJUANGAN | 1.Keikhlasan 2.Kebersamaan 3.Kesungguhan(mujahadah) 4.Istiqomah 5.Kesabaran |

" Adiministrasi yang rapi mutlak perlu untuk menjaga kepercayaan - Kemajuan tanpa adiministrasi akan hancur - Administrasi tanpa kemajuan omong kosong tidak ada gunanya - Hidup sekali hiduplah yang berarti - Sebesar keinsyafanmu sebesar itu pula keuntunganmu - Pondok berdiri diatas dan untuk semua golongan - Jadilah Ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama - Berjasalah tapi jangan minta jasa - Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja - Hanya orang-orang penting yang tahu kepentingan - Hanya pejuang-pejuang yang tahu arti perjuangan - Perjuangan memerlukan pengorbanan, harta benda, tenaga, fikiran, kalau perlu nyawanya sekalipun - Motto pendidikan : 1.berbudi tinggi 2.berbadan sehat 3.berpengetahuan luas 4.berpikiran bebas - Panca Jiwa Pondok : 1.keikhlasan 2.kesederhanaan 3.berdikari 4.ukhuwah islamiyah 5.kebebasan - Panca Jangka Pondok : 1.pendidikan dan Pengajaran 2.khizanatullah 3.pergedungan dan peralatan 4.kaderisasi 5.kesejahteraan keluarga pondok - Janganlah kami dan Pondok kami ini, kamu jadikan seperti wc, hanya dikunjungi bila ada keperluan saja - Kamu adalah orang-orang yang berharga, tapi jangan minta dihargai, kalau minta dihargai harga dirimu habis sepeser pun tidak ada - Kalau kamu datang pada suatu tempat kamu sudah punya wibawa, tinggal memelihara wibawa itu, kalau salah langkah wibawamu akan turun, bahkan bisa hilang sama sekali - Pekerjaan itu kalau dicari banyak, tapi kalau dikerjakan kurang, kalau diomongkan tak habis - Sebaik-baik perbuatan itu adalah yang kekal walaupun sedikit. "


Sabtu, 29 Oktober 2011

Sejarah dan Perkembangan Pesantren Di Indonesia


Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.

Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.

Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga  -paling tidak-  mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: TAWURAN.

Pondok pesantren Dahulu

Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.

Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.

Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.

Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi  fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.

Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.

Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.

Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.

PESANTREN KINI

Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.

Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.

Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.

Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan  dan mereka yang  memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.

Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.

Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.

PEMBAHARUAN DI BIDANG FURU’

Yang dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa perubahan pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren yang berkiblat atau mengikuti Gontor. Seperti perubahan kurukulum dan aktifitas pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya beberapa kelemahan yang ditemukan pada Gontor. Atau karena adanya kebutuhan masyarakat di mana pesantren itu berada. Untuk mengisi kekurangan di bidang penguasaan kitab kuning umpamanya, beberapa pesantren memasukkan kitab kuning sebagai sylabus, meskipun jam pelajarannya berada di luar waktu sekolah, seperti halnya yang dilakukan Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Sistem kombinasi (perpaduan) mazdhab Gontor dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di tengah tumbuhnya pesantren-pesantren. Pengajaran kitab kuning pun tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sebagaimana yang ditemukan pada pesantren Salaf, meskipun demikian metode pembacaannya (secara nahwu) masih mengikuti mazdhab Salaf, yaitu menggantikan “Utawi-Iku” dengan “Bermula-Itu” pada kedudukan mubtada  dan khobar. Di sisi lain sejumlah pesantren mengikuti sylabus Depag atau Depdikbud. Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang menginginkan anaknya menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan studinya. Sebagai konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang terdapat pada Gontor dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi. Atau paling tidak beberapa jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi kurikulum tadi. Sehingga bobot Gontornya sedikit berkurang. Namun demikian, langkah ini membantu para alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja karena  adanya ijazah negeri. Bentuk terakhir ini kita dapatkan pada Pondok Pesantren Daarun Najah, Daarul Qolam dan pesantren-pesantren sekarang pada umumnya.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PENDIDIKAN

Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.

Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita  mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Ha lini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.

Lebih ironi lagi, pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri. Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan , kwalitaslah yang menjadi acuan, bukan formalitas.

Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat.

PENDIDIKAN ISLAM ALTERNATIF

Beberpa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indoensia menyimpulkan masih terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini banyak ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah-sekolah unggulan, SMP Plus, SMU Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan respon dari fenomena di atas. Tidak jarang kini ditemukan SMP atau SMU yang berasrama seperti halnya pondok pesantren. Dipergunakannya nama “SMP” dan “SMU” di atas hanya lebih karena dorongan kebutuhan market (pasar). Sebab, nama pondok pesantren pada sebagian masyarakat masih dianggap kolot dan ketinggalan zaman.

Bentuk pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah dengan yang terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya sejumlah sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran) padahal lahir dari sebuah SMP atau SMA.

Di sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam. Inilah mungkin yang pernah diungkapkan oleh KH. Zainuddin MZ sebagai “Hati Mekkah, Otak Jerman”. Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya benar. Soalnya, pendidikan Islam harus bersemboyan “Hati, Otak dan jiwa harus Islami”, dan ini telah terbukti dengan lahirnya ilmuwan-ilmuuwan Islam di zaman keemasan.

Kegiatan belajar-mengajar di lembaga ini sama dengan pesantren, Ia juga mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di sekolah umum biasa. Untuk menghasilkan alumi yang handal, lembaga ini menyaring calon siswanya dengan ujian masuk yang ketat. Kemampuan IQ dan intelejensi menjadi prioritas dalam menerima para siswa. Fasilitas yang memadai menjadi daya tarik minat masyarakat walau harus membayar dengan harga tinggi. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bahkan sebagian lapisan masyarakat merasa bangga dengan bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu dan fasilitas.

Apakah bentuk pendidikan ini telah berhasil dan dianggap sukses?.  Belum tentu, selain belum lahirnya para alumni model ini, sistem pendidikan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Bahkan kemungkinan bentuk terakhir ini tidak mampu berjalan selama kurun satu atau dua dasawarsa ke depan.

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa Indoneisa, baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama berabad-abad, walau dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai benteng satu-satunya bagi umat Islam dan kelimiahannya. Karena dari sanalah lahir generasi-generasi yang melanjutkan da’wah Islam. Tidak aneh bila ada anggapan bahwa para orientalis mulai menggeluti sosiologi pesantren untuk mencari titik yang dapat melemahkan kesinambungannya demi pengikisan Islam di Indonesia, baik melaui cara halus maupun kasar.

Walau bagaimana tangguhnya sebuah pesantren ia harus tetap belajar dengan lingkungan sekitarnya sambil melestarikan identitas keislamannya. Sistem fiqih orientied yang diterapkan pada masa Ampel misalnya, pada zaman kini dirasa kurang berhasil melahirkan alumni yang iltizam dengan agamanya, terbukti adanya sebagian santri setelah lulus dari pesantrennya kurang mengamalkan ajaran agamanya. Karena sekeluarnya dari almamater, dalam jiwanya merasa telah bebas dari segala peraturan dan tata tertib pesantren, padahal sebenarnya sebagian besar tata tertib itu adalah bagian dari ajaran Islam, seperti berjilbab, sholat berjamaah, membaca al-Quran, menjauhi yang haram dan syubhat, melakukan hal yang sunah dan lain sebagainya.

Oleh karena itu perlu adanya upaya memberi materi Islam secara kaffah, kamil dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun bersifat komprehensif, dan tidak sepenggal-penggal.

Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam merupakan khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara kaffah demi izzul Islam wal muslimin. Wallahu’alam

Kehidupan di Pesantren


Bagi teman-teman yang pernah merasakan kehidupan di pesantren tentunya terkadang merasakan indahnya hidup di pesantren. Ada suka dan ada duka, hidup berjama’ah dengan teman-teman. Merasakan indahnya kebersamaan, makan bersama, tidur bareng, sholat berjamaah, belajar bareng dan seabrek kegiatan yang sudah ditetapkan oleh pesantren.
Ketika pagi menjelang jam 04.00 kegiatan  pesantren sudah mulai muncul aktivitasnya, ada yang sholat tahajjud, ada yang sudah mandi ada yang tadarrus , belajar dan berbagai macam aktivitas yang layakynya dilakukan oleh seorang santri.
Memang kehidupan dipesantren dapat membuka wacana seseorang tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan tanpa keegoisan semata, ketika ada sahabatnya sakit bersama-sama membantu, mencucikan baju, menjaganya sampai merawatnya hingga sembuh. Subhanallah, benar-benar indah bukan??
Ketika shubuh menjelang, bersama-sama kita pergi ke masjid, sholat shubuh berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan tadarrus dan kajian, lantas piket membersihkan pesantren agar nampak indah dan bersih. Selepas itu mandi dan ke kempus. Ketika sore menjelang, kembali kita menyibukkan diri untuk tetap mengingat Allah, sholat magrib, tahsin, kajian dan belajar.
Akan tetapi, terasa lebih indah apabila semua itu dilaksanakan semata-mata untuk mencari ridho Allah. Seberapapun amal kita apabila dilakukan dengan niat “tabarruj” maka tidak ada berkahnya. Bukan pahala yang didapat.
Satu hal yang membuat aku menjadi bertahan dipesantren adalah sikap zuhud dan kekeluargaannya yang bikin aku betah. Sewaktu pertama kali aku tinggal dipesantren benar-benar dech…. Serasa berada di “dunia lain”, aku yang tak biasa makan bersama dalam 1 piring, aku yang tak biasa mencuci baju sendiri, aku yang tak biasa mengepel lantai,nyapu, buang sampah,membersihkan kamar mandi (piket), merasakan ini benar-benar sebuah paksaan. Tetapi setelah 1 tahun aku tinggal dipesantren aku baru bisa merasakan betapa nikmatnya hidup di pesantren. Seakan selalu mengingat akhirat dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Insya Allah….
Namun, dibalik semua itu tidak semua anak yang dimasukkan oleh orang tuanya ke dalam pesantren adalah anak yang benar-benar baik, ada juga anak yang memang “nakal” dan tujuan orangtuanya memasukkan ke dalam pesantren adalah agar dia dapat terwarnai oleh teman-temannya yang sholeh-sholehah. Bukan malah dia yang terwarnai akan tetapi kadang-kadang kehadiran santri “bengal” ini justru mewarnai teman-temannya agar menjadi “nakal” seperti dirinya.
Dan aku merasakannya di dunia pesantren ini, ada aja ulah santri yang terkadang hampir-hampir saja aku ikut terjerumus. tanpa rasa takut ada aja yang dengan bangga menyanyikan lagu-lagu yang “kurang sopan” seperti dangdutan dan lain-lain. Ada yang dengan Pedenya menggunakan hot pants deuh…. deuh….. cape dah.

Adalagi yang selalu saja menyalahkan teman-temannya, menganggap dirinya paling benar. Ada juga yang merasa dirinya paling cantik, paling imut dan paling bersih padahal kalau kita berkunjung kerumahnya aja ups… kotor bin kumuh. Ada lagi yang selalu mencari-cari kesalahan oranglain….. ada yang cuek, ada yang suka membuang sampah sembarangan (bisa-bisanya makan lantas sampahnya diletakkan disamping kasurnya ughhh), yang lebih parah dunia pesantren identik dengan kudis dan “kutu” kalau satu santri udah kena pasti dijamin yang lain akan kena waduh ngeri………. ada -ada saja kejadiannya. yah inilah kehidupan pesantren kita harus bisa membedakan yang baik dan yang benar. Karena semua itu adalah proses kita sebagai manusia dalam hidup.

Senin, 03 Oktober 2011

Kerusuhan Tasikmalaya


Kamis, 19 Desember 1996
Adalah seorang santri bernama Rizal, berusia 15 tahun. Si Rizal ini adalah santri tidak mondok alias santri kalong di Condong. Dia dihukum oleh Ustadz Habib karena kedapatan mengutil dan mencuri barang-barang milik santri lainnya sampai seharga Rp 130 ribu. Hukumannya berupa direndam selutut di empang pesantren. Ini adalah hukuman yang biasa dilakukan di pondok pesantren itu. Dan hukuman ini sudah seijin KH Makmun selaku pimpinan pesantren.(Lihat Catatan: Sebuah Pesantren yang Berbaur dengan Masyarakat)
Rupanya, Rizal langsung melaporkan kejadian ini kepada ayahnya, Kopral Nursamsi. Anggota Sabhara Polres Tasikmalaya ini langsung mendatangi Condong pada hari itu juga. Setelah Nursamsi menerima penjelasan KH Makmun dan Ustadz Mahmud Farid, 38 tahun, pihak Pondok Condong merasa urusan ini sudah selesai.
Jumat, 20 Desember 1996
Entah mengapa datang surat pemanggilan untuk Habib Hamdani Ali, 26 tahun, dan Ihsan, 25 tahun, dari Polres Tasikmalaya. Surat itu ditandatangani oleh perwira jaga dan bukan oleh Kapolres TasikmalayaLetkol Suherman.
Sabtu, 21 Desember 1996
Ustadz Mahmud bersama KH Makmun datang ke Polres Tasikmalaya memenuhi panggilan polisi. Namun, kedatangan kedua tokoh Condong ini tanpa kehadiran Habib. Maka, pihak Polres meminta Habib untuk memenuhi panggilan kedua pada hari Senin tanggal 23 Desember 1996.
Senin, 23 Desember 1996
Habib Hamdani Ali tiba pukul 8.30 pagi di Polres Tasikmalaya. Dia didampingi dua santri lainnya yaituIhsan dan Ate Musodiq. Ikut juga Ustadz Mahmud Farid. Mereka datang memenuhi panggilan polisi pada hari Sabtu. Mereka disambut empat petugas jaga.
Tiba-tiba, Kopral Nursamsi begitu melihat Habib langsung menjambak rambut santri itu dan langsung memberinya pukulan. Entah mengapa, keempat petugas jaga lainnya juga ikut menghajar dan menendang Habib. Melihat hal ini, Ustadz Mahmud berusaha melerai dengan menghalangi empat polisi -- Nursamsi, Serda Agus M, Serda Agus Y, Serda Dedi -- yang tengah membabibuta itu. Dia ingin melindungi Habib.
Namun Mahmud malah menjadi bulan-bulanan polisi yang sudah lepas kontrol itu. Belum puas menghajar, polisi-polisi tadi beralih menghajar Ihsan, yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah.
Santri Ate, begitu melihat penyiksaan terhadap ustadz dan rekan-rekannya langsung kabur dari polres dan melapor kepada pimpinan pesantren, KH Makmun. Tanpa menunggu lama, ayah Ustadz Mahmud ini segera melaporkan penganiayaan atas anaknya kepada Wakil Bupati Tasikmalaya, Oesman Roesman. Dan Roeman segera memerintahkan Kepala Dinas Sosial Politik Kabupaten Tasikmalaya untuk meluncur ke Polres Tasikmalaya.
Menjelang dhuhur penyiksaan baru dihentikan, tepatnya ketika utusan Pemda Tasikmalaya tiba di Polres Tasikmalaya. Ustadz Mahmud yang sudah babak belur segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. "Saya ditendang dan dipukuli di ruang pemeriksaan dan tahanan, sembari disuruh push-up. Dan yang menyakitkan, ada seorang petugas memaki-maki saya dengan kata-kata kasar," tutur Ustadz Mahmud Farid kepada TEMPO Interaktif, Senin 30 Desember 1996, di Pondok Pesantren Condong.(Lihat Wawancara: Dua Ustadz yang Dianiaya Itu Bicara)
Ustadz Mahmud hanya bertahan tiga jam di rumah sakit. Karena, rumah sakit seperti "dikepung" santri dan masyarakat Tasikmalaya yang terus berjubel dan ingin melihat kondisi Mahmud. Atas saran keluarga, Ustadz Mahmud pulang ke rumah diantar orang tua dan puluhan santri. Hari sudah sore, sekitar pukul 16.00.
Sorenya, sekitar pukul 17.00, Kapolres Letkol Suherman didampingi Muspida Tasikmalaya berkunjung sekaligus bersilahturahmi dengan pimpinan pondok. Dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan pihak pesantren tak akan menggugat polisi yang menyiksa pengasuh Condong. Kapolres pun meminta maaf atas perbuatan anak buahnya dan segera akan menindak oknum polisi tersebut. Selain itu, pihak Polres akan menanggung seluruh biaya pengobatan.
Sejak Mahmud Farid pulang ke rumah, di masyarakat dan kalangan pesatren berkembang isu bahwa Mahmud dikabarkan meninggal dianiaya polisi. Bahkan, Kiai Makmun pun digosipkan telah meninggal dunia. Dan kata kabar angin itu, saat pengasuh dan santri Condong digebuki di Polres Tasikmalaya, terdengar ada kata-kata penghinaan dan pelecehan terhadap pemuka agama itu.
Bahkan, seorang pemilik warung di terminal Tasikmalaya pada TEMPO Interaktif mengaku mendengar bahwa Ajeungan Mahmud diserang dengan kata-kata "PKI". Tapi, Kepala Penerangan Kodam Siliwangi,Letkol Herman Ibrahim tak yakin benar bahwa ada tuduhan "PKI" terlontar di Polres Tasikmalaya. "Ada baiknya kita tunggu berita acara pemeriksaan," jelas Letkol Ibrahim.
Walhasil, isu pelecehan dan penghinaan serta kabar angin meninggalnya Ustadz Mahmud meluas hingga ke luar Tasikmalaya. Akibatnya, banyak "simpatisan" yang datang ke Tasikmalaya untuk mengkonfirmasikan berita ini. Memang kebetulan ada seorang "Mahmud" yang meninggal, yakni seorang tukang kayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu.
Kamis, 26 Desember 1996
Isu meninggalnya Ustadz Mahmud terus meluas. Maka pagi hari itu, sekitar pukul 10.00, ribuan orang berkumpul di Masjid Agung Tasikmalaya, Jalan H.Z. Mustofa, untuk melakukan doa bersama. Di tengah ribuan massa yang terus bertambah, Komandan Korem 062 Tarumanegara, Kolonel M. Yasin, menjelaskan bahwa oknum-oknum polisi yang menganiaya Ustadz Mahmud beserta dua santrinya sudah ditangani oleh Detasemen Polisi Militer.
Ketika ribuan orang berada di masjid, ribuan yang lain diam-diam mulai bergerak ke arah Markas Polres di Jalan Yudanegara, yang berjarak sekitar 500 meter dari masjid agung. Massa menuntut agar Kapolres meminta maaf secara terbuka. Bupati dan Kapolres yang tengah berada di Mapolres berusaha menenangkan massa yang kian tak sabar, sembari meneriakkan takbir. Aparat keamanan berbaju hijau yang telah siaga berusaha menghalau massa agar tidak merusak markas Polres Tasikmalaya itu.
Sementara itu, massa di masjid agung akhirnya terpecah-pecah. Sebagian mulai bergerak ke arah Jalan H.Z. Mustofa dan mulai melakukan perusakan dan pembakaran. Dua departmen store besar, Matahari dan Yogya, adalah bangunan pertama yang dihajar massa dengan batu dan kemudian dibakar.
Dari Jalan H.Z. Mustofa, massa mulai menyebar ke arah Barat. Yang lainnya menuju arah Timur dan massa inilah yang membakar Gereja Katolik Salib Suci. Sementara nasib gereja lainnya yang berada di Jalan Salakaso, Cipatujah, Veteran, dan Wiratuningrat, akhirnya mengalami nasib serupa. Gereja-gereja itu dibakar dan dirusak.
Aparat keamanan yang berasal dari Batalyon 330 Bandung, Batalyon 323 Majalengka, Batalyon 301 Sumedang, serta dari Kostrad dan Arhanud, segera menghalau massa ke luar kota Tasikmalaya. Walau sudah mengerahkan sekitar 800 personil, namun pembakaran dan pengrusakan masih terus berlanjut. Bahkan kerusuhan meluas hingga Ciawi yang berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Masjid Agung Tasikmalaya. Massa yang sudah menyusut, ditaksir berjumlah lima ribu orang, masih merusak dan membakar tiga pabrik, sejumlah toko, serta membakar mobil yang diyakini milik warga non pribumi.
Kejadian serupa juga terjadi di Kawasan Sawalu yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Selain toko dan kendaraan, beberapa mapolsek dan pos polisi dirusak massa. Aksi perusakan dan pembakaran di luar kota Tasikmalaya berlangsung hingga Jumat dinihari, 27 Desember 1996.
Sementara di Kota Tasikmalaya, aparat keamamana baru dapat menguasai keadaan sekitar pukul 17.00 WIB pada hari Kamis naas itu. Di beberepa tempat saat itu masih terjadi pembakaran mobil, motor, dan apa saja milik warga nonpri.
Pukul 21.00, Panglima Kodam III Siliwangi, Mayjen TNI Tayo Tarmadi, datang ke Pondok Pesantren Condong untuk mengetahui kondisi kesehatan Ustadz Mahmud dan bertemu dengan KH Makmun. Satu jam kemudian Pangdam mengajak KH Makmun untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat melalui radio di pendopo kabupaten. Dalam penjelasannya di radio, pimpinan pondok pesantren berusia 74 tahun itu, membantah isu bahwa putranya, Ustadz Mahmud, telah meninggal dunia. Ia menegaskan, bahwa kondisi putranya hingga malam itu dalam keadaan sehat wal-afiat.
Dalam peristiwa itu sempat ditahan 106 orang, namun sebagian dibebaskan karena dianggap hanya ikut-ikutan. Sedangkan yang ditahan di Polres Tasikmalaya tercacat 89 orang, tiga diantaranya wanita. Sementara korban yang meninggal adalah Kio Wie, 60 tahun, meninggal karena terjebak api, Eli Santoso, 34 tahun, tewas karena penyakit jantung. Keduanya adalah warga keturunan Cina. Dua orang lainnya tewas akibat amukan massa dan terjatuh dari truk saat kerusuhan terjadi. Kedua korban terakhir ini diduga ikut dalam rombongan massa.
Jumat sampai Minggu, 27 sampai 29 Desember 1996
Masyarakat Tasikmalaya masih diliputi ketakutan. Puluhan toko dan pabrik banyak yang menghentikan aktivitasnya. Sementara di berbagai sudut kota, tembok, dan toko-toko, serta kendaraan bermotor, banyak dijumpai kata-kata "muslim" atau "kepunyaan keluarga muslim". Agaknya, ini upaya untuk menghindari amukan massa. Aparat Pemda dibantu organisasi pemuda dan karang taruna, serta masyarakat pesantren, mulai membersihkan sisa-sisa kerusuhan.
Senin, 30 Desember 1996
Pangdam Siliwangi selaku Ketua Bakorstanasda Jawa Barat bersama Kapolda dan Gubernur Jawa Barat, mengadakan silaturahmi dengan tokoh dan alim ulama se-Tasikmalaya. Hadir dalam acara tersebut, Menteri Agama Tarmizi Taher, Ketua MUI KH Ali Yafie, anggota Komnas HAM Albert Hasibuandan tokoh-tokoh non-Islam.(Lihat Pendapat: "Di Tingkat Nasional Kerukunan Terwujud, Tapi Belum di Bawah...")
Kerusuhan yang diperkirakan menelan kerugian Rp 85 miliar tersebut disesalkan banyak pihak. Kapolda Jawa Barat, Mayjen Nana Permana, yang aparatnya dituduh memicu kerusuhan ini berjanji akan menindak tegas anak buahnya yang melakukan pelanggaran. "Semua berkasnya belum saya terima. Mengenai hukuman, mahkamah militer yang akan memutuskan," ujar Nana Permana yang asli Tasikmalaya ini.(Lihat Wawancara Mayjen Nana Permana: "Bermata Tak Melihat, Berkuping Tak Mendengar")
Benarkah Peristiwa Tasikmalaya melulu soal kekesalan pada polisi? Tatang Setiawan, Ketua Bina Sektor Informal Tasikmalaya, melihat lain ada penyebab yang lain. Yaitu, kekecewaan masyarakat selama ini yang secara ekonomi terpinggir. "Masyarakat Tasikmalaya itu kreativitasnya di bidang kredit, bordir, anyaman, dan peternakan. Sebelum masuk pemodal kuat, mereka dapat hidup layak dari usaha mereka. Tapi sekarang dengan masuknya konglomerasi, masyarakat Tasikmalaya terpinggirkan," kata Tatang yang punya anggota 1200 orang ini yang bergerak di 60 kelompok sektor informal.(Lihat Wawancara Tatang Setiawan: "Konglomerat Datang, Mereka Pun Terpinggirkan")
Senin, 30 Desember 1996
Kota Tasikmalaya, peraih Adipura 1995, berangsur-angsur pulih. Rakyat kembali sibuk dengan kegiatannya. Sejumlah angkutan kota mulai melayani masyarakat. Begitu pula kesibukan aparat pemerintahan. Polisi yang sebelumnya seperti "menghilang" dari jalanan, kembali menjalankan tugasnya mengatur lalu lintas. Namun, sebagian besar toko, swalayan, dan bank-bank di Kota Tasikmalaya masih tutup. Sementara sisa-sisa kerusuhan sudah tidak tampak di jalan. Hanya bangunan hangus yang jadi saksi kerusuhan yang paling parah sepanjang sejarah Tasikmalaya itu.
Boleh jadi, kerusuhan di Tasikmalaya bukan soal spontanitas atau solidaritas. Karena, ada saja yang menyaksikan beberapa truk berukuran besar penuh berisi manusia menurunkan "penumpang" di Tasikmalaya menjelang kerusuhan. Kabarnya, sekitar seratus pengendara motor -- di antaranya berambut gondrong, ada yang beranting dan berpeci -- juga datang dari luar kota untuk mengajak orang-orang Tasikmalaya membuat "perhitungan" karena ada muslim yang dianiaya. Inikah "kelompok" yang dituduh Gus Dur sengaja memojokkan NU? Masih harus ditunggu penyelidikan aparat keamanan.
Sementara, seperti juga kasus di Situbondo, agaknya kasus di lumbung pesantren Jawa Barat itu akan selesai di pengadilan. Aparat Polres Tasikmalaya dan juga perusuh akan menjalani hukuman.
Tapi, apakah akar permasalahan yang menyebabkan kerusuhan akan ditangani pemerintah dengan tuntas? Ini yang belum kunjung tampak dilakukan. Akar permasalahan itu, seperti kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Amien Rais, adalah tidak tahannya rakyat menghadapi kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi yang telah berlangsung cukup lama. Dan kezaliman itu bermula dari tiga penyakit kronis yang seolah-olah tak pernah mampu dibasmi. Yakni korupsi yang melembaga dan menyeruak ke seluruh sel-sel tubuh bangsa, kesenjangan sosial yang makin gawat, dan perilaku buruk petinggi negeri yang dirasuki paham aji mumpung.

Sumber : http://www.tempo.co.id/ang/har/1997/970107_1.htm

Sabtu, 01 Oktober 2011

Pesantren Pelopori Pengolahan Tinja Jadi Energi Listrik

Lebih dari 20.000 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia dapat berperan signifikan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan upaya pemanfaatan sumber energi alternatif, sekaligus menjaga sanitasi lingkungan.
Dalam banyak hal, pesantren menjadi referensi sikap dan perbuatan bagi sebagian besar masyarakat, terutama di pedesaan. Di sisi lain, pemanfaatan energi hasil pengolahan kotoran manusia, sampah, biomassa, maupun kotoran hewan bagi masyarakat di lingkungan pondok pesantren masih terkendala pemahaman fiqh benda najis dan mutanajjis.
Berbagai forum Bahtsul Masa'Il yang diadakan khusus menjawab masalah gas yang dihasilkan dari bahan-bahan najis ini telah banyak dilakukan dan terus menjadi kajian para ulama.
Pondok Pesantren Riyadlul Ulum di Condong Cibeureum Tasikmalaya adalah salah satu pondok dengan jumlah santri lebih dari 2500 orang, sebuah angka yang "cukup" untuk memproduksi biogas dari tinja, sampah sisa makanan, serasah halaman dan biomassa lainnya yang terdapat di lingkungan pesantren seluas 5 Ha sekitar 125 m3 biogas per hari.
Dalam kaitan kepentingan membuat percontohan pengolahan tinja menjadi energi listrik dan sebagai kegiatan rintisan, karena masih terbatasnya dana, baru disiapkan instalasi guna mengolah tinja dan sampah dengan Biogas Digester BD 3000L berkapasitas 3000 liter/ hari, yang dengan itu diharapkan membangkitkan 4,6 m3 biogas/hari.
Biogas hasil fermentasi anaerobik dengan bakteri metagenesis GP-7 ini, yang kemudian dimurnikan dengan methane purifier 12135 ini akan menghasilkan komposisi metan (CH4) tinggi > 70%, yang dengan kualitas itu bisa dijadikan bahan bakar bagi kompor masak memasak di dapur secara stabil dan juga dijadikan bahan bakar menggerakkan generator atau mengganti BBM premium.
Perolehan hasil listrik dari biogas murni (mendekati kandungan CH4 100 %) bisa menggerakkan genset Bio Elektrik 1000 watt secara terus menerus selama 4 hingga 5 jam atau setara dengan 5 KWH (kilo watt hour). Ketika digunakan pada kompor, biogas murni sebanyak itu bisa menyalakan kompor lebih dari 7 jam.
Lumpur (slurry) yang keluar dari output chamber digester digunakan sebagai pupuk kolam, menghidupkan jasad renik dan plankton, sebagai pakan alami terbaik bagi ikan. Dan, makanan ikan pun, kini, bukan lagi material kuning seperti sebelumnya, melainkan plankton.
Rasa ikan dari kolam jadi enak dan higienis, dapat dimasak dengan gas kompor gratis, membuat belajar santri yang diterangi listrik lebih khu'su, dan lingkungan pun memiliki sanitasi sesuai standar kesehatan.(IRIB/sonson garsoni/kencanaonline)

Gempa, 600 Santri Pulang Kampung

Kegiatan Ramadan di Pontren Condong Terhenti
CIBEUREUM – Kegiatan Ramadan di Pondok Pesantren Riyadul Ulum Wadda’ah Kelurahan Setia Negara, Kecamatan Cibeureum, Tasikmalaya tau pesantren Condong terhenti total akibat gempa Rabu (2/9) yang berkekuatan 7,3 SR. Sebab, hampir seluruh bangunan rusak. Karena itu pimpinan Pontren meliburkan lebih awal seluruh santri. Dari sebanyak 750 santri yang masih mondok sebanyak 150 orang.

Pantauan Radar kemarin menunjukkan, kerusakan terparah terjadi pada bangunan asrama putera yang hancur hampir 60 persen. Bagian yang rusak parah yaitu kanopi yang melindungi ruang MCK (mandi, cuci, kakus) asrama putera. Padahal, ruang MCK tersebut digunakan oleh seluruh santri pria. Bangunan lainnya yang rusak antara lain gedung SMP dan SMA Terpadu Riyadul Ulum Wadda’ah, gedung MI dan Masjid.

Ratusan santri telah meninggalkan pontren untuk liburan lebaran. Dari sekitar 750 orang jumlah keseluruhan santri, pada hari Kamis (3/9) kemarin hanya bersisa sekitar 150 orang yang masih tinggal di pontren.
“Dengan berbagai pertimbangan yang ada, pihak pesantren akhirnya memberi kesempatan libur lebih awal seminggu bagi seluruh santri. Kendati memang masih banyak agenda kegiatan pontren yang harus dilaksanakan. Namun, dengan peristiwa gempa ini, semua rencana kegiatan bulan Ramadan yang tersisa terpaksa harus dihentikan,” ungkap KH. Diding Darul Falah, Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Riyadul Ulum Wadda’ah kepada Radar, Kamis (3/9).

Sebelumnya, menurut Diding, kegiatan rutin bulan Ramadan sudah berlangsung dengan sangat teratur dan khusyuk. Rangkaian kegiatan Ramadan tersebut antara lain salat wajib berjamaah, wirid dan tadarrus bersama selepas salat subuh dan dzuhur, bahsul masail (tanya jawab masalah keagamaan) setiap pukul 13.00 WIB s.d.14.00 WIB, tausyiyah dan kultum sebelum berbuka puasa, buka puasa bersama, shalat tarawih berjamaan, dan sorogan selepas salat tarawih. Akibat gempa, sejak Rabu (2/9), seluruh rangkaian kegiatan Ramadan itu terganggu dan terpaksa dihentikan.

Diding berharap agar bantuan logistik tetap disalurkan untuk pontren yang dipimpinnya itu. Sejauh ini, baru Departemen Sosial yang menurunkan bantuan logistik dan tenda darurat untuk korban bencana gempa di pontren Riyadul Ulum Wadda’ah. Selain itu, untuk solusi jangka panjang, Diding berharap agar bantuan untuk merenovasi bangunan-bangunan pontren Riyadul Ulum Wadda’ah yang rusak segera dapat diterima oleh pihaknya. Sebab, mulai tanggal 10 Syawal nanti, para santri akan kembali belajar di pontren tersebut.

Sementara itu, dari pantauan Radar, suasana di pontren Riyadul Ulum Wadda’ah saat ini sudah mulai kondusif dan tenang. Para santri, staf pengajar dan pimpinan pontren kini sudah terlihat tenang dan hanya menanti datangnya berbagai bantuan sosial. Kondisi ini sangat berlainan dengan hari Rabu (2/9) di mana rasa panik dan syok dirasakan hampir oleh seluruh penghuni pontren Riyadul Ulum Wadda’ah.

Asep Ridwan (22) staf pengajar Pontren Riyadul Ulum Wadda’ah, yang juga saksi mata kejadian runtuhnya bangunan asrama putera pontren tersebut mengatakan di asrama putera terdapat 15 orang santri putera yang tengah beristirahat. Pas kejadian, sebagian besar santri di asrama putera berloncatan dari lantai 3 gedung itu. Akibatnya, 4 orang di antaranya luka-luka. Ratusan santri perempuan malah sedang berada di gedung serba guna, hingga mereka berdesakan keluar dari gedung itu. Beruntung, gedung itu selamat dari keruntuhan,” tutur Asep.
“Hari ini (3/9) suasana pontren sudah lebih tenang. Ini karena sebagian besar teman-teman santri sudah libur dan pulang ke rumahnya. Bantuan sosial pun sudah kami terima. Padahal, tadi malam, kami semua tidak bisa istirahat dengan tenang karena masih takut ada gempa susulan,” lanjut Asep.

Dulu Salafiyah Kini Modern


TASIK – Pondok Pesantren Riyadlul-Ulum Wadda’wah di Condong Setianegara Cibeureum, merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Dikenal dengan nama Pesantren Condong,  didirikan oleh KH Nawawi sekitar abad 18 dan berdiri pada sebidang tanah wakaf dari Pangeran Cornell, Sumedang.
Sebelum menjadi pesantren modern seperti sekarang, Pesantren Condong mengkhususkan diri pada kajian kitab kuning karya ulama-ulama salafi terkenal. Seperti pesantren salafiyah yang lainnya, manajemen yang dijalankan pesantren ini secara tradisional.
Pola pengajaran yang diterapkan masih sederhana, seperti bandongan, sorogan dan wetonan di bawah bimbingan kiai.
Kemudian corak pendidikan salafi berubah menjadi modern setelah penerus pesantren selesai mengenyam pendidikan di Pondok Modern Darussalam, Gontor. Tahun 1980-an, dimotori oleh para kader-kader inilah Pesantren Condong menerapkan sistem manajemen modern.
Sistem keuangan pun dibenahi, kurikulum dibakukan dan diperkaya dengan muatan-muatan tambahan seperti bahasa Arab, bahasa Inggris dan berhitung. Yang paling mencolok, para santri diwajibkan berkomunikasi dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Pada tahun 2001, Pondok Pesantren Condong mulai menyelenggarakan pendidikan formal setingkat SMP. Selanjutnya di tahun 2004, dibuka lembaga pendidikan tingkat SMA.
Pendidikan dan pengajaran di SMP-SMA Terpadu ini merupakan perpaduan antara tiga sistem kurikulum. Pertama kurikulum pesantren salaf, kedua kurikulum pesantren modern ala Pondok Modern Darussalam Gontor dan kurikulum yang bersumber dari Departemen Pendidikan Nasional yang mengutamakan keseimbangan iman, ilmu dan amal.
Pada tahun 2009, Pondok Pesantren Condong membuka pendidikan pesantren tingkat Ma’had Aly yang merupakan kelanjutan dari sistem pembelajaran 6 tahun di SMP-SMA Terpadu. Ma’had Aly ini didesain untuk mencetak kader-kader ulama yang bertafaquh fiddin dan siap berdakwah di masyarakat.
Ustadz Endang Rahmat, anak ke-11 dari KH Ma’mun —penerus Pesantren Riyadul Ulum Wadda’wah/ generasi ke enam— menyatakan, pendidikan salafiyah di Pesantren Riyadul Ulul Wadda’wah sampai saat ini tetap dipertahankan. Bahkan dipadukan dengan model pendidikan modern yang diadopsi dari Pesantren Gontor tersebut.
“Semua kitab kuning dikaji, sementara itu lembag pendidikan umum pun didirikan dari mulai MI, SMP, SMA, Ma’had ‘Aly kalau di pesantren salaf,” paparnya saat ditemui Radar di rumahnya.
Dia melajutkan, perubahan metode pendidikan dari salafiyah ke sistem modern merupakan tuntutan zaman. Dengan begitu para alumni mampu ngigelan zaman.
“Ini karena menurut hasil pengamatan saya, animo masyarakat terhadap pesantren sudah berkurang. Karena tergerus oleh sistem wajar dikdas,” ungkapnya.
Perubahan sistem pendidikan tersebut, kata dia, dilakukan ketimbang pesantrennya tergerus oleh wajar dikdas, lebih baik sistem pelajaran dan pembelajaran pendidikan nasional diadopsi ke dalam sistem pendidikan pesantren. “Karena yang penting itu bukan nama, tapi isinya,” tandas dia.
Dengan mengadopsi dua sistem pesantren ini, para alumni bisa melanjutkan ke perguruan tinggi manapun baik di Indonesia maupun di luar negeri. Selain itu, karena siswanya juga masih dididik dengan pendidikan model santri salafi, mereka siap ditempatkan kapan dan dimanapun diminta. Baik menjadi imam, ustadz maupun sebagai wirausahawan.
Tradisi-tradisi pesantren yang sampai sekarang masih dipelihara seperti membaca kitab barjanzi, yasinan dan tahlilan. Bahkan sekarang setelah mengadopsi metode pendidikan formal, semua jadwal pelajaran di pesantren maupun di sekolah bisa semakin teragenda.
“Kita ini tidak menyalahi kodrat, karena kita memakai konsep Al-muhafadhatu ‘Ala Qadimi As-Shalih wal Akhdu bil Jadidi al-Aslah. Yang artinya menjaga nilai-nilai tradisi lama dan mengambil tradisi baru yang lebih baik,” ucapnya memberikan alasan.
Pernyataannya ini dibuktikan dengan 75 alumni angkatan ke lima sekarang tidak ada yang menganggur. Mereka telah disebar ke berbagai bidang. Ada yang kuliah, ada yang diminta oleh 8 pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan juga ada yang masih mengabdi di pesantren.